Kamis, 31 Januari 2013

Bagi Mereka Orang Tua Yang Marah-Marah…



KITA adalah orang matang, anak kita masih belum matang, mengapa yang matang perlu marah pada yang belum matang?
Kita sudah besar, mereka masih kecil, mengapakah orang yang sudah besar perlu marah pada orang masih kecil?
Kita adalah orang yang berpengalaman, anak-anak belum pernah melihat dunia. Mengapa harus paksakan anak-anak kita paham dan sejalan dengan pandangan kita?
Masih ingat teori ini?
Pernahkah terpikir mengapa dua orang yang sedang  marah perlu menjerit satu sama lain walaupun duduk bersebelahan? Pernahkah terpikir mengapa dua orang yang saling menyayangi lebih suka ‘membisik’ satu sama lain walaupun duduk berjauhan, atau  lewat telepon?
Marah dibalas marah, maka dua hati akan berjauhan, makin menjerit makin berjauhan. Oleh karena itu, hati memerlukan suara/nada yang kuat untuk menghubungkannya.
Bagi mereka yang kita sayang, dua hati adalah dekat, jadi tidak perlu untuk menjerit-jerit, hanya perlu ‘membisik’ sudah terasa dekat. Makin dibisik, makin terasa sayang.
Itulah keajaiban ciptaan Allah pada sistem badan manusia.
Persoalannya, jika kita ingin mendidik anak-anak kita, perlukah kita marah-marah padanya walaupun mereka berbuat salah?
Sekiranya menggunakan pendekatan  marah-marah, tanyakan pada diri sendiri, maukah hati kita berjauhan dengan hati anak-anak kita?
Atau kita mendidik dengan ‘berbisik’, supaya mereka mengerti dan hati mereka dekat dengan kita?
Hubungan orangtua dengan anak-anak yang terbaik ialah anak-anak menganggap orangtuanya sebagai sahabat karib dengan penuh penghormatan tanpa rasa segan untuk menceritakan segala masalahnya.
Adab Mengendalikan Amarah Menurut Islam
Jangan marah!” begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang bisa saja marah. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Lalu apa makna hadits Nabi SAW itu? Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadits itu: “AlKhaththabi berkata, “Arti perkataan Rasulullah SAW ‘jangan marah’ adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang mengarah kepadanya.”Menurut ‘Al-Khaththabi, marah itu tidaklah terlarang, karena itu adalah tabiat yang tak akan hilang dalam diri manusia.
Nah, apa yang harus dilakukan seorang Muslim ketika marah? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, mengungkapkan hendaknya seorang Muslim memperhatikan adab-adab yang berkaitan dengan marah. Berikut adab-adab yang perlu diperhatikan terkait marah.
Pertama, jangan marah, kecuali karena Allah SWT. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah karena Allah merupakan sesuatu yang disukai dan mendapatkan amal. Misalnya, marah ketika menyaksikan perbuatan haram merajalela. Seorang Muslim yang marah karena hukum Allah diabaikan merupakan contoh marah karena Allah.
“Seorang Muslim hendaknya menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tak mendatangkan pahala”, tutur Syekh Sayyid Nada. Rasulullah SAW, kata dia, tak pernah marah karena dirinya, tapi marah karena Allah SWT. Nabi SAW pun tak pernah dendam, kecuali karena Allah SWT.
Kedua, berlemah lembut dan tak marah karena urusan dunia. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, sesungguhnya semua kemarahan itu buruk, kecuali karena Allah SWT. Ia mengingatkan, kemarahan kerap berujung dengan pertikaian dan perselisihan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar dan bisa pula memutuskan silaturrahim.
Ketiga, mengingat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. “Ingatlah kekuasaan, perlindungan, keagungan, dan keperkasaan Sang Khalik ketika sedang marah,” ungkap Syekh Sayyid Nada. Menurut dia, ketika mengingat kebesaran Allah SWT, maka kemarahan akan bisa diredam. Bahkan, mungkin tak jadi marah sama sekali. Sesungguhnya, papar Syekh Sayyid Nada, itulah adab paling bermanfaat yang dapat menolong seseorang untuk berlaku santun (sabar).
Keempat, menahan dan meredam amarah jika telah muncul. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, Allah SWT menyukai seseorang yang dapat menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul. Allah SWT berfirman, ” … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran:134).
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bahri, ketika kemarahan tengah memuncak, hendaknya segera menahan dan meredamnya untuk tindakan keji. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap makhluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki.” (HR Ahmad).
Kelima, berlindung kepada Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, “Jika seseorang yang marah mengucapkan; ‘A’uudzubillah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan reda kemarahannya.” (HR Ibu ‘Adi dalam al-Kaamil).
Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian.
Ketujuh, mengubah posisi ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad).
Kedelapan, berwudhu atau mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. “Maka dari itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat menghilangkan amarah serta gejolak darah,” tuturnya.
Kesembilan, memberi maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya “… dan jika mereka marah mereka memberi maaf.” (QS Asy-Syuura:37).
Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. “… dan ia tak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan… ” begitu sifat Rasulullah SAW yang tertuang dalam Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS.

Tidak ada komentar: